Kulirik layar nokiaku, dua
puluh tiga menit sudah kami bercerita. Topik cerita yang tidak menentu, berawal
dari ketika Ia bilang bahwa ia sedang persiapan mengikuti sambil menunggu
pengumuman salah satu seleksi penerimaan pegawai dibawah naungan hukum publik
di negeri nusantara ini dan hampir berujung pada cerita kekesalan akibat ulahku
yang tidak bisa menjawab pertanyaan dosen penguji tadi siang dengan baik. Tak hanya
saling mendengar, jika Ia yang bercerita Aku selalu memberikan jawaban
terbaikku yang kuharap bisa memberikan nilai baik padanya, begitu juga
sebaliknya jika aku yang bercerita Ia selalu memberikan respons positif terbaiknya
yang bisa menyenangkan hatiku walaupun hanya sementara.
Sekitar tiga menit kami terdiam.
Aku pikir pembicaraan kami akan selesai di menit yang ke dua puluh
delapan, seperti biasanya kalau bicara lewat hape, aku lebih banyak diam karena
aku memang tidak tau harus membahas apa. Toh
kami hanya kenal lewat jejaring sosial dan via telepon saja. Aku lebih senang saat
suasana chatting dengannya karena akan lebih puas jika harus menyampaikan
ucapan bibirku lewat susunan huruf yang bisa membentuk kalimat dan sebuah arti
yang bisa Aku dan Ia pahami. Yah, Aku lebih
pasif jika saat bicara dengannya lewat hape.
Walau ini bukan hal yang asing lagi untukku dan Dia. Pinem, kadang aku
menyebutnya begitu walau Ia tak suka dengan sebutan itu.
Dua puluh enam menit, tak ada juga kalimat
yang terucap dari bibirku maupun dari bibirnya.
Kuputuskan niatku untuk
mengakhiri percakapan ini dikarenakan kepalaku yang sedikit tidak nyaman akibat
beban pikiran hari ini, yah, dua puluh lima nopember dua ribu empat belas…
“Bang sudah makan?”,
tanyaku sok perhatian.
“Udah Dek, kamu?”, Ia
balik bertanya.
“Dari tadi Bang”,
kataku datar.
“Ya udah, istirahatlah,
kamu kan capek”, balasnya dari seberang.
“Sudah bosan ya?”,
kataku berharap agar ia tidak memutuskan sambungan telepon itu.
“Nggak, Abang mau
sholat dulu”, sahutnya singkat.
“ #(#$%@#(0^!(0(=)---sensor---)($%@^&$<?”:”(“^%$_+@#=-$
… sama Abang”, kataku mengiba.
“Udahlah Jhon, kamu
istirahat ya, kamu kan masih capek habis sidang tadi”. Kalimatnya sedikit
memerintah.
“Selama aku
membutuhkanmu, Kau tetap Adikku kok.
Aku akan siap membantumu, mendengarkan ceritamu, sebisa mungkin”, tambahnya
lagi.
“Ya sudahlah Bang, Aku
mau istirahat dulu, Aku matikan ya”. Jawabku.
“Matikanlah”, sahutnya mengakhiri
pembicaraan.
Tut tut tut…
################
Dalam hatiku.. “Selama
Aku membutuhkanmu”.
Kalimat itu terus
berputar di otak kiriku, bahkan otak kanankupun turun tangan untuk
memikirkannya, disusul dengan otak tengahku yang letaknya entah dimana. “Apa?!!” Selama ia membutuhkanku? Bagaimana
jika aku yang membutuhkannya? Apakah Ia ada?
#(#$%@#(0^!(0(=) ?????
Tidak ada komentar:
Posting Komentar